Ikan Selais |
Berada di Riau,
Pekanbaru pada khususnya, sebaiknya tak melewatkan kesempatan untuk mencicipi
masakan khas Melayu. Atas keramahtamahan seorang sahabat Bu Sri Wahyuni Abdul
Kadir atau Mbak Ninik, saya tak hanya diajak mengenal sebagian sejarah Melayu
Riau di Pekanbaru. Namun juga sempat mencicipi makanan khas di daerah ini. Sebagai
orang asli Pekanbaru, banyak sekali
pengetahuan baru tentang kota ini saya dapatkan.
Hari itu, beliau
mengajak makan siang di salah satu rumah makan. Awalnya kami akan ke Pondok
Ikan Selais di Jalan Tuanku Tambusai. Ikan yang beliau ingin pesan sudah habis
disana. Sehingga makan siang bergeser ke rumah makan lain. Pondok Yurika di
Jalan Dr. Soetomo.
Puak Melayu Riau di
Pekanbaru mewarisi berbagai tradisi adat. Diantara adalah berbagai masakan
khas. Makanan khas orang Pekanbaru masih dikenal hingga kini. Terutama di
keluarga-keluarga yang dulunya tinggal di daerah Kampung Dalam, Kampung Bandar,
Tanjung Rhu, dan Kampung Bukit. Tak hanya di rumah, masakan khas Melayu
Pekanbaru bisa dicicipi di berbagai rumah makan.
Dari luar, Pondok
Yurika terlihat sederhana. Didominasi warna biru dan kuning. Sebagian dinding
terbuat dari bambu. Atapnya seng. Bagian dalamnya luas. Terbagi menjadi dua
ruangan. Satu ruangan di sebelah kosong dan tertutup. Mungkin digunakan jika
pelanggan lebih ramai atau ada acara-acara khusus.
Bagian dalam rumah makan |
Di ruang utama restoran,
terdapat dari meja-meja besar dengan bangku-bangku di sekelilingnya. Mbak-mbak
pramusajinya semuanya mengenakan baju kurung khas melayu warna biru dan
berjilbab. Santun dan anggun. Di atas sebuah meja dekat tempat duduk kami
terhidang kacang hijau dan makanan seperti kolak. Gratis.
Jam makan siang telah
berlalu. Tak banyak orang makan di tempat ini. Kami pesan makanan serba ikan. Seorang pramusaji datang tak membawa menu, bertanya
kami mau pesan apa. Mbak Ninik minta yang serba ikan.
Orang Melayu daratan, banyak hidup di pinggir sungai. Itulah
sebabnya mereka punya masakan berbahan dasar ikan air tawar. Kota
Pekanbaru yang dulunya bernama Senapelan, berada di tepi Sungai Siak. Di muara-muara sungai kecil Senapelan : Sungai
Sago, Sungai Limau, Sungai Sail, Sungai Tenayan, dan Sungai Air Hitam.
Pertama, datang dua
puding tradisional dalam wadah plastik mini. Kira-kira sekepalan tangan
besarnya. Puding jagung dan pandan. Saya pilih jagung. Tak terlalu manis.
Perpaduan rasa antara jagung dan santan.
Ikan Matan |
Berikutnya datang
berturut-turut aneka makanan Penyajiannya mirip di rumah makan Padang. Satu
mangkuk besar nasi. Berpiring-piring lauk ditata di atas meja. Ada sepuluh
macam lauk-pauk dan sayur-mayur terhidang
di atas meja. Setengahnya mengandung santan. Paling unik adalah gulai siput.
Terakhir, datanglah nasi, ulam (lalapan) dan empat macam sambal.
Memang kalau sedang di Sumatera, di setiap waktu makan tersedia sambal. Bahkan di pagi hari sekalipun. Hampir setiap masakan berwarna merah cabe. Kalau sedang ke Riau, tiga hari pertama, perut saya beradaptasi. Namun setelahnya terbiasa lagi makan sambal dengan tingkat kepedasan tinggi. Di rumah pun harus tersedia sambal. Baik sambal buatan sendiri, mau pun sambal beli.
Masing-masing orang mendapatkan satu mangkuk air pencuci
tangan. Saking banyaknya makanan terhidang di meja, dan rasa penasaran akan
rasanya, membuat saya lupa menanyakan secara detail mengenai masakan tersebut.
Karena hanya berdua,
kami makan hanya beberapa lauk. Menemani nasi putih hangat, ikan selais goreng
dan asam pedas ikan patin wajib dicoba, kata Mbak Ninik. Di piring lalapan,
selain daun singkong, potongan wortel dan kacang panjang rebus, saya temukan
sayuran baru. Rasanya agak pahit dan berkelat. Ternyata namanya pucuk tenggek
burung. Tanaman perdu yang berkembang biak dengan perantara burung.
Ikan selais Pekanbaru
mengalami berbagai proses sebelum disantap. Digarami, dikeringkan, kemudian
diasapi beberapa lama. Baru digoreng atau digulai. Warna coklat tua. Rasa ikan
selais goreng menurut saya mirip dengan paru sapi goreng. Kering dan ada rasa asapnya.
Di Pasar Bawah, lantai paling dasar, banyak pedagang menjual ikan ini.
Rasa asam pedas patin,
bisa ditebak dari warna merahnya. Membakar lidah. Kami masih memakannya dengan empat sambal lainnya. Sambal
durian, sambal mangga, sambal hijau, sambal terasi. masih ditambah ikan matan, ikan
kecil digoreng kering dan kriuk, udang pedas dan ulam. Terbayang enaknya,
bukan?
Perut penuh. Tak ada tempat buat makanan pencuci mulut.
Rasa
makanan pencuci mulut sangat manis, kata Mbak Ninik. Saya memotret suasana
rumah makan dekat kasir. Bagian atasnya menampilkan foto-foto selebritis yang
pernah mampir ke sana. Pemopuler wisata kuliner, Pak Bondan Winarno pernah mencicipi hidangan di sini. Ada foto seorang wanita muda mirip Siti
Nurhaliza. Setengah berkelakar, saya bilang, sebentar lagi foto saya akan
dipajang di atas sana.
moco iki karo klamu klamut. ambu iwak asin, sayur asem karo sambal terasi. Sambal itu memang sesuatu, tanpanya teras kurang mantep.
ReplyDeleteOh, jadi Mbak Ira ini artis juga? baru tahu :)))
hihihihihiih... artis gak terkenal blas. Sambel pancen oye... wingi aku sektas masak balado terong plus teri.. nyammm..
ReplyDeletewaaahhh nasi anget mana nasi angetttt..... *laperrrrrr
ReplyDeleteWah kalau zahra suka sekali dengan salmbal mba ira. Mojang bandung doyan yang pedes2 ^_^
ReplyDeleteduh kapan ya kuliner di pekan baru terlaksana ... ngimpi icip2 sambal deh malam ini.
ReplyDelete